Sabtu, 07 November 2009

Naomi "The Indigo's Child" - Part 1 - Paralel

“Ka Naomi cepetan bangun…!!!” Sheren membangunkan aku pagi itu. Menjemput mimpi-mimpiku dan aku lekas mengambil langkahku untuk meraih segala asa yang mengembun di pagi hari . “Kakak cepetan… bangun !!!”

“Iya… iya …” aku menguap. “Emang sekarang jam berapa ?”

“Udah jam setengah enam.”

Aku mengangkat ragaku yang lunglai tak berdaya ini , mataku membuka perlahan dan mengambil air wudhu. Aku shalat shubuh. Setelah itu aku menuju ke kamar mandi.

“Kakak cepetan mandinya !! Nanti belum makannya … huuh… !” bawel Sheren dari luar kamar mandi.

Aku seakan dikejar sang waktu, berusaha lari dan menggapai bagian yang paling kusuka, makan pagi atau sarapan atau breakfast.

“Kamu bisanya teriak-teriak aja de, ngagetin orang aja!”

“Abiz kakak kalo pagi- pagi suka bikin orang kecot sih! Bangun paginya susah banget !” Sheren meledekku yang baru keluar dari kamar mandi.

“Namanya juga manusia kali de, ada kekurangannya.” Sheren mengangguk sambil mengunyah nasi goreng yang hampir habis.

“Naomi nanti kamu ke sekolahan nya Sheren yah ambil rapot.” Aku mengangguk dan mengebut makan nasi gorengnya.

“Sama om Icung?”

“Ya donk, kamu bertiga.” mama sedang tidak enak badan.

“Aku, ka Naomi, om Icung?” mama mengangguk.

“Awas yah de kalo rapot mu jelek. “ Sheren mengangguk.

“Aku kan pinter kali kak. Jadi tenang aja. Hahaha.” Sheren tertawa.

Om Icung yang telah ditelepon mama sudah datang menunggu di depan rumah.

“Assalamualaikum…” om Icung menyapa semuanya

“Walaikumsalam…” kami semua pun menjawab salam om Icung.

“Enak nih nasgor...?” om Icung menyambung.

“Iya donk… mau ga om..?” aku menawarkan.

Om Icung menggeleng. “Nyam...” nasi goreng terakhir pun langsung masuk ke mulutku.

“Ya udah yuk de berangkat. Udah jam delapan nih.” Aku dan Sheren berangkat setelah mencium tangan mama.

“Assalamualaikum…” kami bertiga kompak mengucap salam.

Aku berangkat ke sekolah Sheren dengan om Icung. Umurku kini 13 tahun, aku masih SMP. Tapi aku homeschooling. Sesungguh nya aku ingin di sekolah biasa sayangnya kenyataan tak berpihak pada ku.

Aku adalah seorang anak Indigo. Semua udah tau kan maksudnya anak indigo itu apa? Kalo masih ada yang kurang jelas, aku akan kasih tahu.

Anak indigo adalah anak-anak yang dilahirkan dengan insting yang kuat dan memiliki kelebihan. Walaupun terkadang orang disekitar menganggap anak indigo itu anak yang aneh atau autis atau tidak bisa diam alias lincah banget. Terkadang omongan nya tidak jelas. Meski begitu mereka masing-masing memiliki kelebihan diatas orang normal pada umumnya. Contohnya aku yang dapat melihat waktu yang akan terjadi. Atau juga bisa melihat hal-hal yang berhubungan dengan dunia ghaib. Aku percaya aku diberikan kelebihan oleh Allah, untuk kebajikan.

Mama adalah mama yang paling baik di dunia karena mama sangat mengerti aku. Aku tinggal dirumah dengan Mama, Sheren, Om Jack, Om Irfan dan Tante Asih. Eh lupa ada adik Zidan, anaknya Om Irfan dan Tante Asih. Semuanya adalah keluarga ku. Aku sangat menyangi mereka dan mereka pun menyayangiku.

Dari hari ke hari aku merasa slalu saja kesepian. Karena tak ada teman bermain seperti di sekolah pada umumnya dan di lingkungan sekitar rumahku. Alhasil aku hanya bermain dengan adikku, Sheren. Terkadang kalau ada anak nya teman mama datang kerumah baru aku main dengan anak sebaya ku.

“Sheren kira-kira ranking berapa nih?” Om Icung berbicara di motor.

“Beloman kali om. Kan masih semester satu… tapi pengen nya kalo semester dua nanti dapet ranking satu, om.” Aku tertawa.

“Kenapa kakak tertawa?”

“Kamu lucu ajah. Kalau mau ranking satu itu belajar yang rajin. Kamu kan doyan nya main Barbie.” Om Icung ikut tertawa.

Sebentar lagi sampai disekolah Sheren, hatiku menjadi berdebar-debar. Harus nya Sheren yang merasakan hal seperti ini, bukan aku. Lalu motor masuk ke parkiran. Begitu banyak murid-murid dan orang tuanya yang telah mengambil rapor.

“Sheren, om Icung disini aja yah.” Sheren mengangguk.

“Om Icungm, awas yah kabur ninggalin aku sama Sheren.” Aku tersenyum meledek om Icung yang hanya menunggu di motor. Kemudian aku dan Sheren jalan ke ruang kelas Sheren.

Aku benci sekali kalau sekolah bertingkat seperti sekolah Sheren ini. Kelas nya di lantai dua. Aku capek banget menaiki puluhan tangga yang harus ku daki dengan kedua kaki.

“Hah…huh …hah..huh…” nafasku terengah-engah.

“Kakak baru segini aja udah kecapekan. Gimana aku yang setahun berada disini dan naik turun melulu.” Sherenbadannya tak sebesar dan selebar tubuhku. Sehingga mudah untuk bergerak kemana pun dia suka. Sedangkan aku sedikit saja sudah terasa sangat berat sekali.

“Kamu kelas berapa sih Sheren?”

“Kelas 4-1!” jawab Sheren sambil menunjuk kelas nya yang sedikit lagi dapat kuraih.

Di dalam sudah ada begitu banyak orangtua murid dan masing-masing anak nya. Menunggu lagi deh. Aku duduk di kursi paling belakang.

Sejak masuk ke kelas Sheren aku memandangi jam dinding diatas kepala guru nya Sheren. Hingga tiga puluh menit telah berlalu. Aku masih tetap menunggu. Tiga puluh menit saja masih terlihat banyak yang ingin mengambil rapor.

Aku menundukan kepala diatas meja. Sangat letih dan sedikit mengantuk rasanya.hawa sejuk menyapa lembut kulitku. Membelai rambutku. Hingga mataku tertutup.

Lalu aku membuka mata. “Hoam…” aku terkejut melihat kelas yang sepi . Apa aku telah ketinggalan? Bagaimana dengan Sheren yang ingin mengambil rapor? Aku celingak celinguk tak jelas. Aku mengucek mata, memastikan bahwa semua hanya karena mataku yang sudah minus atau masih mengantuk. Tapi ternyata tidak. Itu kenyataan. Aku menguap dan bangkit dari tempat duduk menuju keluar kelas. Tapi semua orang seperti menghilang dari sekolah ini, di setiap sudut juga tak kulihat batang hidung semua murid dan orangtua mereka.

Sepertinya aku berada di alam mimpi. Mataku mencari manusia yang kukenal tapi tak ku temukan. Kakiku berjalan ke tangga melanjutkan ke lantai dasar.

Kosong.

Tak kulihat apapun disana.

Apa yang terjadi?

Apa yang aku lakukan di alam mimpi ini?

Mengapa aku hanya sendiri disini?

Aku berdiri ketengah lapangan dan berusaha mencari pintu yang kupikir bisa mengembalikan aku ke dunia nyata. Kemudian sadar dari mimpi ini.

Aku semakin bingung. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku semakin panik. Entahlah aku sudah tidak tahan lagi, lengang sekali.

“Na…oo…mii...” aku melihat ke sekelilingku.

“Siapa itu ?” aku bertanya sekeras-kerasnya.

“Na……ooo……miiii……!!! “ aku melihat kesekelilingku lagi mencari darimana suara itu berasal.

Aku berusaha untuk memfouskan diriku. Sebersit aku mendapat pertanda. Pertanda ini terlalu riuh, aku menjadi hilang kendali hingga menutup telingaku. Aku berlari kembali ke kelas 4-1 , ragaku masih terpaku di meja kelas. Seketika aku melihat diriku, inikah jiwa? Apa yang harus aku lakukan agar jiwa ini kembali ke raga dan kembali ke dunia nyata?

“ Naomi…!!! Na…oooo...miiiii…!!!” teriakan-teriakan mulai terdengar lagi. Tapi wujudnya tak ada. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup telinga.

“Tidak…!!! Tidak…!!! Tidak…!!! Tolong kalau seperti ini tidak akan selesai masalah kalian!” teriakku berusaha lari, lari dan lari menuju ragaku. Tapi semakin terseret waktu yang menelan setiap detik. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak karena jiwaku tersentuh dan semakin terhisap ke satu titik.

Gelap…